Wabah Ulat Bulu yang mewabah di Indonesia sebulan terakhir ini sudah merambah hingga Pulau Bali dan Sumatera. Di Medan, Sumatera Utara juga sudah terindikasi wabah ulat bulu ini.Wabah ulat pertama kali ditemukan warga di sejumlah batang pohon Kintungan yang tumbuh tumbuh di sisi trotoar depan Mesjid Agung, Jl Diponegoro, Medan, Senin (11/4) lalu.
Staf Khusus Presiden Bidang Sosial dan Bencana Andi Arief menuturkan penyebab berkembangnya wabah ulat bulu di Jakarta dan sejumlah wilayah lain di tanah air. Menurutnya, ulat bulu mewabah karena rendahnya populasi predator alami ulat bulu.
"Ulat bulu secara alami mempunyai musuh alami baik pada tingkat telur, ulat, kepompong atau dewasa. Dewasa ulat bulu berupa ngengat (kupu malam) aktif pada malam hari sebagai predatornya adalah kelelawar insektivor (pemakan serangga)," tutur Andi dalam siaran pers kepada detikcom, Kamis (14/4/2011).
Andi menuturkan, populasi ulat bulu belakangan tak terkendali karena adanya gangguan pada populasi pemangsanya. Hal ini mengakibatkan ulat bulu menjadi wabah yang berbahaya.
"Kerusakan gua kapur akibat penambangan batu kapur dapat merupakan salah satu penyebab menurunnya populasi kelelawar. Semut rang-rang yang sangat potensial sebagai predator ulat sudah sangat jarang, karena dieksploitasi sebagai pakan burung piaraan. Burung pemakan serangga (burung jalak) sudah jarang sekali," tutur Andi.
Penggunaan pestisida di lahan pertanian juga menjadi penyebab ulat bulu mewabah. Karena pemangsa serangga dari jenis bakteri dan virus juga tak mampu berkembangbiak di alam.
"Sedangkan penggunaan pestisida yang intensif di daerah kawasan pertanian diduga merupakan salah satu penyebabnya menurunnya parasit telur, larva dan pupa serta entomopatogen lainnya (bakteri, jamur dan virus)," tuturnya.
"Ulat bulu secara alami mempunyai musuh alami baik pada tingkat telur, ulat, kepompong atau dewasa. Dewasa ulat bulu berupa ngengat (kupu malam) aktif pada malam hari sebagai predatornya adalah kelelawar insektivor (pemakan serangga)," tutur Andi dalam siaran pers kepada detikcom, Kamis (14/4/2011).
Andi menuturkan, populasi ulat bulu belakangan tak terkendali karena adanya gangguan pada populasi pemangsanya. Hal ini mengakibatkan ulat bulu menjadi wabah yang berbahaya.
"Kerusakan gua kapur akibat penambangan batu kapur dapat merupakan salah satu penyebab menurunnya populasi kelelawar. Semut rang-rang yang sangat potensial sebagai predator ulat sudah sangat jarang, karena dieksploitasi sebagai pakan burung piaraan. Burung pemakan serangga (burung jalak) sudah jarang sekali," tutur Andi.
Penggunaan pestisida di lahan pertanian juga menjadi penyebab ulat bulu mewabah. Karena pemangsa serangga dari jenis bakteri dan virus juga tak mampu berkembangbiak di alam.
"Sedangkan penggunaan pestisida yang intensif di daerah kawasan pertanian diduga merupakan salah satu penyebabnya menurunnya parasit telur, larva dan pupa serta entomopatogen lainnya (bakteri, jamur dan virus)," tuturnya.
Andi Arief mengimbau masyarakat agar tidak panik menghadapi wabah ulat bulu. Karena ulat bulu tidak mematikan kecuali bagi mereka yang alergi.
"Ulat bulu Lymantriidae tidak mematikan kecuali terhadap orang yang mempunyai alergi, oleh karena itu tidak perlu dihadapi dengan panik oleh masyarakat," tutur Andi Arief.
"Ulat bulu Lymantriidae tidak mematikan kecuali terhadap orang yang mempunyai alergi, oleh karena itu tidak perlu dihadapi dengan panik oleh masyarakat," tutur Andi Arief.
ndi mengimbau masyarakat agar menjaga kebersihan. Selain itu, masyarakat juga diimbau agar memperhatikan pentingnya menjaga keseimbangan alam agar populasi hewan seperti ulat bulu tidak mewabah karena pemangsanya yang berkurang.
Untuk menekan penyebaran ulat bulu, Andi meminta masyarkat mengikuti langkah-langkah sebagai berikut:
1. Melakukan sanitasi lingkungan (pupasi terjadi ditempat-tempat yang banyak serasah, sampah, tumpukan kayu dll.).
Untuk menekan penyebaran ulat bulu, Andi meminta masyarkat mengikuti langkah-langkah sebagai berikut:
1. Melakukan sanitasi lingkungan (pupasi terjadi ditempat-tempat yang banyak serasah, sampah, tumpukan kayu dll.).
2. Memberantas ulat, larva, kepompong secara mekanik dengan cara menguburnya.
3. Mengumpulkan larva ke dalam tabung pendama untuk mendapatkan parasitnya kemudian melepaskan kembali ke alam.
4. Menggunakan perangkap lampu (mercuri atau uv) untuk menangkap ngengatnya dan selanjutnya dibunuh.
5. Menggunakan larva dan pupa yang mati akibat entomopatogen untuk dibuat larutan dan disemprotkan untuk pengendalian atau mengitroduksi entomopatogen hasil biakan dari laboratorium.
Ulat Bulu Mewabah karena Iklim Hingga Abu Vulkanik
Ulat bulu yang mewabah di beberapa titik Pulau Jawa dan Bali terjadi karena faktor pembatasnya terganggu. Terganggunya faktor pembatas itu mulai dari pengaruh iklim sampai abu vulkanik.
"Jadi beberapa ulat mempunyai eksponensial growth yang berlipat ganda, dari 1 jadi 150, dari 150 jadi 150 lagi. Ini selalu terjadi di alam, ada faktor pembatasnya, seperti kekurangan makanan, iklim. Kalau faktor pembatas terganggu bisa cepat munculnya. Ada yang beberapa tahun bisa muncul, ada yang 6 tahun, ada yang 100 tahun," ujar pakar serangga (entomolog) dari Fakultas Pertanian Universitas Gajah Mada (UGM), Suputa.
Hal itu disampaikan Suputa ketika berbincang dengan detikcom, Rabu (13/4/2011).
Faktor pembatas itu berkurang lantaran berkurangnya juga musuh alami karena pemakaian pestisida berlebihan. Penyemprotan pestisida berpotensi membunuh musuh-musuh alaminya seperti semut rangrang, braconidae dan chalcididae (sejenis tawon/lebah) serta tachinidae (lalat). Dengan pestisida kimia maka ulat juga menjadi lebih resisten.
"Dengan pestisida kimia, parasitoid yang makan ulat mati, dan ulatnya lebih tahan daripada musuhnya," ujarnya.
Kemudian penangkapan burung-burung berkicau yang memakan ngengat juga menjadi faktor meningkatnya ulat bulu. "Jadi ulat bulu yang mewabah selama ini menjadi ngengat, bukan kupu-kupu," jelasnya.
Sedangkan pengaruh iklim, sepanjang tahun 2010 musim hujannya panjang. Daun yang menjadi makanan ulat tersedia terus menerus dan berlimpah. Selain itu ditemukan pula, bahwa ulat itu semakin cepat siklus hidupnya.
"Dari penelitian dari larva ke pupa yang seharusnya 9 hari, beberapa ada yang 4 hari, percepatan siklus hidup," jelasnya.
Sementara Dr Ir Toto Himawan SU dari Tim Hama Penyakit Tanaman (HPT) Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya yang meneliti wabah ulat bulu di Probolinggo mengatakan, kasus di Probolinggo dipengaruhi juga abu vulkanik dari Gunung Bromo.
"Satu hal yang berbeda di Probolinggo selain hujan, ada kiriman abu Gunung Bromo. Nah, kemungkinan abu ini sangat menggangu terutama untuk parasit telur (ulat)," jelas Toto.
"Jadi beberapa ulat mempunyai eksponensial growth yang berlipat ganda, dari 1 jadi 150, dari 150 jadi 150 lagi. Ini selalu terjadi di alam, ada faktor pembatasnya, seperti kekurangan makanan, iklim. Kalau faktor pembatas terganggu bisa cepat munculnya. Ada yang beberapa tahun bisa muncul, ada yang 6 tahun, ada yang 100 tahun," ujar pakar serangga (entomolog) dari Fakultas Pertanian Universitas Gajah Mada (UGM), Suputa.
Hal itu disampaikan Suputa ketika berbincang dengan detikcom, Rabu (13/4/2011).
Faktor pembatas itu berkurang lantaran berkurangnya juga musuh alami karena pemakaian pestisida berlebihan. Penyemprotan pestisida berpotensi membunuh musuh-musuh alaminya seperti semut rangrang, braconidae dan chalcididae (sejenis tawon/lebah) serta tachinidae (lalat). Dengan pestisida kimia maka ulat juga menjadi lebih resisten.
"Dengan pestisida kimia, parasitoid yang makan ulat mati, dan ulatnya lebih tahan daripada musuhnya," ujarnya.
Kemudian penangkapan burung-burung berkicau yang memakan ngengat juga menjadi faktor meningkatnya ulat bulu. "Jadi ulat bulu yang mewabah selama ini menjadi ngengat, bukan kupu-kupu," jelasnya.
Sedangkan pengaruh iklim, sepanjang tahun 2010 musim hujannya panjang. Daun yang menjadi makanan ulat tersedia terus menerus dan berlimpah. Selain itu ditemukan pula, bahwa ulat itu semakin cepat siklus hidupnya.
"Dari penelitian dari larva ke pupa yang seharusnya 9 hari, beberapa ada yang 4 hari, percepatan siklus hidup," jelasnya.
Sementara Dr Ir Toto Himawan SU dari Tim Hama Penyakit Tanaman (HPT) Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya yang meneliti wabah ulat bulu di Probolinggo mengatakan, kasus di Probolinggo dipengaruhi juga abu vulkanik dari Gunung Bromo.
"Satu hal yang berbeda di Probolinggo selain hujan, ada kiriman abu Gunung Bromo. Nah, kemungkinan abu ini sangat menggangu terutama untuk parasit telur (ulat)," jelas Toto.
Peneliti LIPI Indikasikan Siklus Ulat Bulu 3-4 Hari Lebih Cepat
ecara rata-rata, siklus hidup telur, larva (bentuk ulat) hingga menjadi kupu-kupu malam (ngengat) adalah sekitar 30 hari. Namun peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengindikasikan siklus hidup ulat bulu sekarang lebih cepat 3-4 hari.
"Ada indikasi siklus hidupnya lebih cepat. Mungkin 3-4 hari lebih cepat. Secara khusus LIPI belum meneliti ini, namun beberapa penelitian dari luar LIPI telah mempublikasikannya. Siklus pendek ini merupakan gambaran umum dari perubahan ekosistem," ujar peneliti Serangga Bidang Parasit LIPI Dr Rosichon Ubaidillah dalam perbincangan dengan detikcom, Rabu (13/4/2011).
Siklus yang lebih pendek ini, menurutnya terjadi manakala terpenuhinya host plant atau inang sehingga menyediakan suplai makanan bagi makhluk tersebut. Berdasar teori fisiologi serangga, kurangnya makanan bagi serangga akan membuat siklus hidupnya lambat. Sebaliknya, jika tanaman yang menjadi makanan baginya sedikit maka siklus hidupnya lama.
Dia menjelaskan, fase telur membutuhkan waktu 6-7 hari. Di fase larva ada 4 tahapan isntar yang masing-masing instar membutuhkan waktu 3-4 hari. Setelah itu, masuk fase pre-pupa yang butuh waktu 2 hari. Lalu di tahapan pupa butuh waktu 7 hari.
"umumnya sekitar 26-30 hari. LIPI belum secara spesifik melakukan penelitian itu. Tapi dari perubahan ekosistem, ada indikasi itu," Imbuh Rosichon.
Dia menuturkan, rangkaian perubahan ekosistem berpengaruh terhadap komponen ekosistem. Komponen ini berubah ketika ada hal-hal di alam yang berubah. "Dulu serangga jenis ngengat atau kupu-kupu malam ini terkonsentrasi di beberapa kawasan hutan. Famili Lymantridae umumnya hidup di hutan dataran rendah," terang Rosichon.
Hutan dataran rendah yang banyak terdapat di Jawa dan Sumatera, menurutnya, sudah banyak berkurang dan berubah. Selain itu terdapat penanaman pohon secara homogen, yakni jenis mangga-manggaan atau dari suku suku Anacardiaceae menjadi makanan bagi larva jenis Lymantridae.
"Jadi hanya serangga yang tersedia makanannya secara homogen yang populasinya meledak. Dalam teori entomologi (ilmu yang mempelajari serangga), dinamika populasi dipengaruhi beberapa faktor yaitu abiotik dan biotik," tutur Rosichon.
Faktor biotik adalah adanya musuh alam dari ulat bulu dan ngengat, yakni berupa predator, parasit dan patogen atau agen biologis yang menyebabkan penyakit pada inangnya. Sedangkan faktor abiotik adalah musuh yang bukan berasal dari alam.
"Ada indikasi siklus hidupnya lebih cepat. Mungkin 3-4 hari lebih cepat. Secara khusus LIPI belum meneliti ini, namun beberapa penelitian dari luar LIPI telah mempublikasikannya. Siklus pendek ini merupakan gambaran umum dari perubahan ekosistem," ujar peneliti Serangga Bidang Parasit LIPI Dr Rosichon Ubaidillah dalam perbincangan dengan detikcom, Rabu (13/4/2011).
Siklus yang lebih pendek ini, menurutnya terjadi manakala terpenuhinya host plant atau inang sehingga menyediakan suplai makanan bagi makhluk tersebut. Berdasar teori fisiologi serangga, kurangnya makanan bagi serangga akan membuat siklus hidupnya lambat. Sebaliknya, jika tanaman yang menjadi makanan baginya sedikit maka siklus hidupnya lama.
Dia menjelaskan, fase telur membutuhkan waktu 6-7 hari. Di fase larva ada 4 tahapan isntar yang masing-masing instar membutuhkan waktu 3-4 hari. Setelah itu, masuk fase pre-pupa yang butuh waktu 2 hari. Lalu di tahapan pupa butuh waktu 7 hari.
"umumnya sekitar 26-30 hari. LIPI belum secara spesifik melakukan penelitian itu. Tapi dari perubahan ekosistem, ada indikasi itu," Imbuh Rosichon.
Dia menuturkan, rangkaian perubahan ekosistem berpengaruh terhadap komponen ekosistem. Komponen ini berubah ketika ada hal-hal di alam yang berubah. "Dulu serangga jenis ngengat atau kupu-kupu malam ini terkonsentrasi di beberapa kawasan hutan. Famili Lymantridae umumnya hidup di hutan dataran rendah," terang Rosichon.
Hutan dataran rendah yang banyak terdapat di Jawa dan Sumatera, menurutnya, sudah banyak berkurang dan berubah. Selain itu terdapat penanaman pohon secara homogen, yakni jenis mangga-manggaan atau dari suku suku Anacardiaceae menjadi makanan bagi larva jenis Lymantridae.
"Jadi hanya serangga yang tersedia makanannya secara homogen yang populasinya meledak. Dalam teori entomologi (ilmu yang mempelajari serangga), dinamika populasi dipengaruhi beberapa faktor yaitu abiotik dan biotik," tutur Rosichon.
Faktor biotik adalah adanya musuh alam dari ulat bulu dan ngengat, yakni berupa predator, parasit dan patogen atau agen biologis yang menyebabkan penyakit pada inangnya. Sedangkan faktor abiotik adalah musuh yang bukan berasal dari alam.
Lampu Kendaraan di Waktu Malam Bantu Migrasi Ulat Bulu
Hama ulat bulu menyebar di beberapa wilayah di Indonesia. Lampu kendaraan di waktu malam, dinilai juga membantu ulat bulu dewasa yang sudah menjadi ngengat untuk bermigrasi di malam hari.
Ulat bulu memiliki cara hidup yang unik. Mereka beraktivitas mencari makanan dan bermigrasi pada malam hari. Ulat bulu bergerak dari sarangnya menuju dedaunan dari pepohonan. Pada siang hari, ulat bulu beristirahat tidur dengan cara bergerombol dalam satu kelompok.
Ulat bulu tak hanya menyusuri batang-batang pohon. Namun ulat ini juga menyusuri tembok rumah dan sekolah, seperti yang terjadi di Denpasar dan Gianyar, Bali.
"Ulat bulu yang menempel di tembok, itu ulat yang tersasar," kata Kepala Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Made Putra Suryawan di Balai Proteksi Tanaman Pangan VII, Denpasar, Jl Pandjaitan, Denpasar , Rabu (23/3/2011).
Ulat bulu umumnya menempel pada batang pohon kemudian bergerak mencari daun yang paling enak untuk makanan pertama. Daun yang paling enak bagi ulat bulu adalah daun benalu. Jika daun yang rasanya paling lezat itu habis, maka ulat bulu akan memakan segala jenis dedaunan.
Di Bali, ulat bulu telah memakan beragam jenis daun, seperti daun pepaya, jepun, pisang, mangga, jempinis, sandat hingga daun pelepah kelapa. "Ulat bulu itu pemakan segala jenis daun," kata Suryawan.
Setelah daun pada suatu pohon habis atau meranggas, ulat bulu akan kembali pindah ke pohon lainnya. Jika daun pada suatu wilayah telah habis, maka ulat bulu ini akan bermigrasi ke daerah lain. Hal ini dilakukan ketika ulat ini sudah berubah menjadi ngengat.
"Inilah yang suka menempel pada lampu kendaraan yang melaju di malam hari," kata Suryawan.
Kendaraan inilah yang memandu ngengat ini bermigrasi ke daerah lain di malam hari. Migrasi bisa terjadi cukup jauh dari daerah asal. Ngengat akan ikut berhenti di suatu tempat, jika kendaraan pemandunya juga berhenti. Di tempat yang baru itulah kupu-kupu bertelur dan menjadi ulat bulu. Sedangkan, cara migrasi alaminya adalah ngengat dan kupu-kupu diterbangkan angin secara bergerombol.
Ulat bulu memiliki cara hidup yang unik. Mereka beraktivitas mencari makanan dan bermigrasi pada malam hari. Ulat bulu bergerak dari sarangnya menuju dedaunan dari pepohonan. Pada siang hari, ulat bulu beristirahat tidur dengan cara bergerombol dalam satu kelompok.
Ulat bulu tak hanya menyusuri batang-batang pohon. Namun ulat ini juga menyusuri tembok rumah dan sekolah, seperti yang terjadi di Denpasar dan Gianyar, Bali.
"Ulat bulu yang menempel di tembok, itu ulat yang tersasar," kata Kepala Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Made Putra Suryawan di Balai Proteksi Tanaman Pangan VII, Denpasar, Jl Pandjaitan, Denpasar , Rabu (23/3/2011).
Ulat bulu umumnya menempel pada batang pohon kemudian bergerak mencari daun yang paling enak untuk makanan pertama. Daun yang paling enak bagi ulat bulu adalah daun benalu. Jika daun yang rasanya paling lezat itu habis, maka ulat bulu akan memakan segala jenis dedaunan.
Di Bali, ulat bulu telah memakan beragam jenis daun, seperti daun pepaya, jepun, pisang, mangga, jempinis, sandat hingga daun pelepah kelapa. "Ulat bulu itu pemakan segala jenis daun," kata Suryawan.
Setelah daun pada suatu pohon habis atau meranggas, ulat bulu akan kembali pindah ke pohon lainnya. Jika daun pada suatu wilayah telah habis, maka ulat bulu ini akan bermigrasi ke daerah lain. Hal ini dilakukan ketika ulat ini sudah berubah menjadi ngengat.
"Inilah yang suka menempel pada lampu kendaraan yang melaju di malam hari," kata Suryawan.
Kendaraan inilah yang memandu ngengat ini bermigrasi ke daerah lain di malam hari. Migrasi bisa terjadi cukup jauh dari daerah asal. Ngengat akan ikut berhenti di suatu tempat, jika kendaraan pemandunya juga berhenti. Di tempat yang baru itulah kupu-kupu bertelur dan menjadi ulat bulu. Sedangkan, cara migrasi alaminya adalah ngengat dan kupu-kupu diterbangkan angin secara bergerombol.
Ulat bulu menjadi masalah di beberapa daerah di Pulau Jawa seperti di Probolinggo dan Jombang, Jawa Timur, serta Kendal, Jawa Tengah serta kota di Bali. Warga sejumlah daerah lainnya juga melaporkan ulat bulu, seperti Tanjung Duren, Jakarta Barat, yang menyerang pepohonan. Tidak hanya itu, ulat bulu pun masuk ke rumah warga. Akibatnya sejumlah warga pun resah.
Sumber : detik News
Komentar
Posting Komentar